Saturday, 28 August 2010

Perkembangan Stasiun TV Indonesia



Pada tahun 1962 menjadi tonggak pertelevisian Nasional Indonesia dengan berdiri dan beroperasinya TVRI. Pada perkembangannya TVRI menjadi alat strategis pemerintah dalam banyak kegiatan, mulai dari kegiatan sosial hingga kegiatan-kegiatan politik. Selama beberapa decade TVRI memegang monopoli penyiaran di Indonesia, dan menjadi “ corong “ pemerintah. Sejak awal keberadaan TVRI, siaran berita menjadi salah satu andalan. Bahkan Dunia dalam Berita dan Berita Nasional ditayangkan pada jam utama. Bahkan Metro TV menjadi stasiun TV pertama di Indonesia yang fokus pada pemberitaan, layaknya CNN atau Al-Jazeera. Pada awalnya, persetujuan untuk mendirikan televisi hanya dari telegram pendek Presiden Soekarno ketika sedang melawat ke Wina, 23 Oktober 1961.

Sulit dibayangkan bagiamana repotnya dan susahnya ketika itu, karena bahkan untuk memlilih peralatan yang mana dari perusahaan apa, masih serba menerka. Dalam perkembangannya, TV swasta melahirkan siaran berita yang lebih variatif. Siaran berita yang bersifat straight news, seperti Liputan 6 (SCTV), Metro Malam (Metro TV), dan Seputar Indonesia (RCTI) tidak jadi satu-satunya pakem berita televisi. Kurang dalamnya straight news disiasati stasiun TV dengan tayang depth reporting, yang mengulas suatu berita secara lebih mendalam. Tayangan itu antara lain Metro Realitas (Metro TV), Derap Hukum dan Sigi (SCTV) dan Kupas Tuntas (Trans TV). Sementara itu, berita kriminal mendapat tempat tersendiri dalam dunia pemberitaan televisi, sebutlah Buser (SCTV), Sergap (RCTI) dan Patroli (Indosiar). Tonggak kedua dunia pertelevisian adalah pada tahun 1987, yaitu ketika diterbitkannya Keputusan Menteri Penerangan RI Nomor : 190 A/ Kep/ Menpen/ 1987 tentang siaran saluran terbatas, yang membuka peluang bagi televisi swasta untuk beroperasi. Seiring dengan keluarnya Kepmen tersebut, pada tanggal 24 agustus 1989 televisi swasta, RCTI, resmi mengudara, dan tahun-tahun berikutnya bermunculan stasiun-stasiun televisi swasta baru, berturut-turut adalah SCTV ( 24/8/90 ), TPI ( 23/1/1991 ), Anteve ( 7/3/1993 ), indosiar ( 11/1/1995 ), metro TV ( 25/11/2000 ), trans TV ( 25/11/2001 ), dan lativi ( 17/1/2002 ). Selain itu, muncul pula TV global dan TV 7. jumlah stasiun televisi swasta Nasional tersebut belum mencakup stasiun televisi lokal – regional..

Maraknya komunitas televisi swasta membawa banyak dampak dalam kehidupan masyarakat, baik positif atau negatif. Kehadiran mereka pun sering menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Pada satu sisi masyarakat dipuaskan oleh kehadiran mereka yang menayangkan hiburan dan memberikan informasi, namun di sisi lain mereka pun tidak jarang menuai kecaman dari masyarakat karena tayangan-tayangan mereka yang kurang bisa diterima oleh masyarakat ataupun individu-individu tertentu. Bagaimanapun juga, televisi telah menjadi sebuah keniscayaan dalam masyarakat dewasa ini. Kemampuan televisi yang sangat menakjubkan untuk menembus batas-batas yang sulit ditembus oleh media masa lainnya. Televisi mampu menjangkau daerah-daerah yang jauh secara geografis, ia juga hadir di ruang-ruang publik hingga ruang yang sangat pribadi. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup ( gerak atau live ) yang bisa bersifat politis, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Oleh karena itu, ia memiliki sifat yang sangat istimewa.

Kemampuan televisi yang luar biasa tersebut sangat bermanfaat bagi banyak pihak, baik dari kalangan ekonomi, hingga politik. Bagi kalangan ekonomi televisi sering dimanfaatkan sebagai media iklan yang sangat efektif untuk memperkenalkan produk pada konsumen. Sementara, bagi kalangan politik, televisi sering dimanfaatkan sebagai media kampanye untuk menggalang masak, contohnya adalah, banyak pihak yang menilai kemenangan SBY di Indonesia dan JFK di Amerika sebagai presiden adalah karena kepiawaian mereka memenfaatkan media televisi. Belakangan, televisi pun sering dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai media sosialisasi sebuah kebijakan yang akan di ambil kepada masyarakat luas, seperti yang belakangan adalah sosialisasi tentang kenaikan harga BBM dan tarip dasar listrik. Kehadiran televisi banyak memberi pengaruh positif dalam masyarakat, terutama yang terkait dengan kemampuannya untuk menyebar informasi yang cepat dan dapat diterima dalam wilayah yang sangat luas pada waktu yang singkat. Hasil penelitian MRI ( 2001 ) terhadap para ibu yang diungkapkan oleh Puspito ( Almira-online ) menyebutkan bahwa siaran televisi memberikan dampak positif bagi anak-anak mereka. Diantara dampak positif tersebut adalah menambah wawasan anak, anak menjadi lebih cerdas, anak dapat membedakan yang baik dan jahat, serta dapat mengembangkan keterampilan anak. Dampak negatif yang ia lihat pada anak mereka, yaitu berperilaku keras, moralitas negatif, anak pasif, dan tidak kreatif nilai sekolah rendah, kecanduan menonton, dan perilaku konsumtif.

• SEJARAH TELEVISI LOKAL
Penyiaran saat ini tidak lagi menjadi monopoli Jakarta. Fenomena menjamurnya televisi lokal di berbagai daerah dapat dijadikan indikator telah menyebarnya sumber daya penyiaran. Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), sebuah organisasi tempat bergabungnya televisi lokal yang berdiri pada 26 Juli 2002, hingga saat ini telah menghimpun sebanyak 23 industri televisi lokal. Anggotanya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, ada Bandung TV di Bandung, Bali TV di Bali, Riau TV di Pekanbaru Riau, dan berbagai daerah lainnya. Belum lagi keberadaan televisi lokal lainnya yang belum terdata sama sekali. Dapat dibayangkan betapa ramainya udara Indonesia di masa yang akan datang dengan maraknya televisi lokal yang akan bermunculan. menggeliatnya perkembangan televisi lokal tidak seindah yang dibayangkan. Televisi lokal yang sudah beroperasi banyak yang berjibaku dengan masalah internalnya, dari persoalan buruknya manajemen, baik manajemen sumber daya manusianya maupun manajemen keuangannya, hingga pada persoalan sulitnya mendapatkan share iklan.

Iklan merupakan masalah tersendiri yang cukup membuat gelisah para pengelola sebagian besar televisi lokal. Potret buruknya sistem manajemen sebagian televisi lokal dapat dilihat dalam peristiwa protes karyawan salah satu televisi lokal yang terjadi di tahun 2005. Protes karyawan dilatarbelakangi karena rendahnya upah yang diterima serta tidak adanya kepastian kerja bagi mereka. Tumpuan harapan

Publik sesungguhnya menaruh harapan begitu tinggi terhadap televisi lokal. Kehadirannya di belantika penyiaran diharapkan dapat memberi alternatif tontonan dan dapat mengakomodasi khazanah lokalitas yang saat ini kurang tertampung dalam tayangan televisi Zaman telah berubah, konsentrasi media dan pemusatan modal ingin dihilangkan. Walau tidak bisa dilakukan secara langsung, keinginan menyebar sumber daya itu akan dilakukan secara bertahap seiring dengan penataan sistem dan regulasinya. Ini merupakan berkah yang patut disyukuri masyarakat daerah.

Bila keadaan ini terus berjalan sesuai harapan, geliat industri penyiaran di daerah akan berkembang dan orang tidak lagi melihat Jakarta sebagai pusat peradaban penyiaran. Peradaban penyiaran lambat laun akan tumbuh di berbagai daerah. Fenomena ini mungkin hampir sama dengan keadaan pada zaman Yunani kuno. Di sana polis- polis berkembang dan kebudayaan tidak terpusat di suatu tempat. Tanggung jawab pengelola
Banyaknya masalah yang dihadapi oleh industri televisi lokal menuntut perhatian dan upaya untuk mengatasinya. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab regulator penyiaran, melainkan juga menjadi tanggung jawab pengelola televisi lokal itu sendiri. Dari sudut regulator diharapkan ada regulasi atau kebijakan yang memihak terhadap tumbuhkembangnya televisi lokal.

Pemihakan itu kemudian dituangkan dalam produk peraturan. Dari sisi televisi lokal, harus segera dilakukan upaya, antara lain pertama, televisi lokal harus mampu menciptakan keunikan dari program siaran yang dikelolanya. Bila hal ini dapat dilakukan, setidaknya televisi lokal dapat membangun posisi tawar di hadapan televisi Jakarta dan dapat meraih pemirsa daerah yang selama ini menjadi penonton loyal televisi local. Bila televisi lokal telah menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri, rasanya cita-cita mewujudkan sistem penyiaran nasional yang berkeadilan bukanlah sebuah impian yang utopis.

Pada era otonomi daerah, peran media massa makin urgen. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah lebih menitikberatkan pada partisipasi dan kontrol masyarakat serta pemberdayaan institusi lokal. Salah satu upaya yang harus dilakukan demi suksesnya otonomi daerah adalah mengoptimalkan peran institusi lokal nonpemerintah, seperti media massa. Strategi komunikasi yang berkembang pun tidak lagi centrist vertical seperti pada masa Orde Baru. Pada masa itu, media massa hanya menjadi corong komunikator puncak yang duduk di jabatan tertinggi pemerintahan sehingga informasi yang beredar pun hanya untuk kepentingan pemerintahan. Sementara itu, masyarakat diposisikan hanya sebagai komunikan yang dijejali dengan berbagai propaganda. Di Indonesia saat ini sudah berkembang startegi komunikasi two way traffic yang dalam pandangan Peterson dan Burnett, telah terjadi komunikasi vertikal downward communication dan upward communication.

Realitas tersebut merupakan angin surga bagi kehidupan media massa di tanah air. Setidaknya, media massa pada orde ini dapat lebih memberdayakan dirinya sembari tetap mempertahankan empat fungsi pokoknya, yakni, memberikan informasi (to inform), menjadi media pendidikan (to educate), sarana hiburan bagi masyarakat (to entertain), dan kontrol sosial (social control). Keempat fungsi pokok tersebut harus dikayuh dalam bingkai-bingkai norma yang berlaku, baik norma hukum, norma agama, norma susila, maupun norma kesopanan.

No comments:

Post a Comment